Kamis, 05 Maret 2009

Perekonomian RI Semakin Buruk


JAKARTA, KAMIS - Kondisi perekonomian global yang lebih buruk dari perkiraan membuat pertumbuhan ekonomi domestik kian lambat. Prediksi pertumbuhan 2009 pun kembali diturunkan. Untuk menahan pelambatan lebih dalam, suku bunga acuan dipangkas 50 basis poin menjadi 7,75 persen.

Hasil Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia, Rabu (4/3) di Jakarta, menyebutkan, perkembangan ekonomi global menunjukkan pelambatan lebih dalam, tecermin dari merosotnya perekonomian negara-negara maju yang lebih besar daripada perkiraan. Kondisi pasar keuangan global pun masih sangat rapuh dengan semakin banyaknya laporan kerugian lembaga keuangan dunia.

Hasil Rapat Dewan Gubernur BI juga mengingatkan, perekonomian domestik pun akhirnya juga melambat lebih dalam. Ini tecermin dari penurunan nilai ekspor dan timbulnya sentimen negatif terhadap pasar keuangan domestik, yang ujungnya memengaruhi kinerja perekonomian secara keseluruhan.

Badan Pusat Statistik, misalnya, melaporkan nilai ekspor Januari 2009 anjlok 17,7 persen terhadap Desember 2008. Jatuhnya nilai ekspor membawa konsekuensi, antara lain melemahnya kinerja sektor usaha penyerap tenaga kerja dan meningkatnya pemutusan hubungan kerja pada sektor industri yang berorientasi ekspor. Ini akhirnya menimbulkan efek menurunnya daya beli dan konsumsi masyarakat. Padahal, ekspor dan konsumsi rumah tangga merupakan pendorong pertumbuhan ekonomi. Rendahnya daya beli mulai tampak pada anjloknya penjualan kendaraan bermotor, semen, dan alat elektronik.

Investasi tidak bergerak

Kondisi perekonomian makin parah karena investasi tak bergerak dan belanja konsumsi pemerintah belum berjalan optimal.

Macetnya investasi dan kegiatan sektor riil terlihat dari posisi kredit yang turun 2,1 persen dari Rp 1.300 triliun pada akhir Desember 2008 menjadi Rp 1.273 triliun per Januari 2009. Seretnya penyaluran kredit makin diperparah oleh kekhawatiran perbankan terhadap meningkatnya kredit bermasalah.

Menyikapi situasi ini, BI pun menurunkan level pertumbuhan ekonomi dari 4,5 persen menjadi 4 persen. Angka 4 persen itu pun bersifat pesimistis karena berpotensi besar turun lagi.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, angka proyeksi 4,5 persen masih bisa turun karena ekspor negatif. Kalau titik keseimbangan pertumbuhan lebih rendah, tentu konsekuensinya beberapa target pembangunan tidak tercapai.

Tanda pelambatan ekonomi kian jelas setelah Ditjen Pajak mengumumkan realisasi penerimaan pajak Januari 2009. Penerimaan pajak nonmigas Rp 34,288 triliun hanya tumbuh 5 persen dibanding Januari 2008. ”Ini menunjukkan pertumbuhan penerimaan pajak melambat. Pada kondisi normal, 18-20 persen per bulan,” ujar Dirjen Pajak Darmin Nasution.

Data perekonomian terkini menunjukkan tidak ada satu indikator fundamental perekonomian pun yang bisa menerbitkan optimisme.

Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) yang menjadi jendela perekonomian di dunia internasional terus tertekan. Tidak hanya oleh penurunan ekspor yang drastis, tetapi juga karena masih berlanjutnya penjualan aset-aset rupiah oleh investor asing di pasar modal dan pasar uang. Defisit ganda pun kini terjadi, yakni dalam transaksi perdagangan dan transaksi modal dan keuangan.

Permintaan dollar AS yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasokannya telah melemahkan rupiah ke level Rp 12.033 per dollar AS pada penutupan perdagangan di BI kemarin. Level ini merupakan yang terburuk sejak Desember 2008.

Memburuknya neraca pembayaran dan juga pelemahan nilai tukar membuat cadangan devisa tergerus. Posisi kini sebesar 50,56 miliar dollar AS, turun dibandingkan Juli 2008, yang tercatat 60,56 miliar dollar AS.

Makin lambat

Sejumlah pengamat menilai perekonomian Indonesia bakal makin lambat dari perkiraan semula. ”Mencapai 3 persen saja sudah hebat karena negara tetangga akan tumbuh negatif,” kata pengamat moneter dan perbankan Iman Sugema.

Apalagi stimulus fiskal sebesar Rp 73,3 triliun dan stimulus moneter berupa penurunan suku bunga acuan (BI Rate) pun diragukan efektivitasnya.

Menurut Kepala Ekonom BNI Tony Prasetiantono, stimulus fiskal kemungkinan besar terhambat oleh lambatnya penyerapan anggaran. Kebijakan moneter pun terhadang banyak hambatan, salah satunya transmisi suku bunga. Sejak Desember 2008, BI Rate telah dipangkas 175 basis poin, tetapi suku bunga kredit hanya turun sekitar 50 basis poin.

Tingginya biaya dana, rendahnya efisiensi bank, kekhawatiran meningkatnya kredit bermasalah, dan tekanan pemilik agar bank tetap memperoleh keuntungan membuat manajemen bank tetap mematok suku bunga kredit yang tinggi, sekitar 16 persen per tahun.

Iman menyarankan, dalam situasi seperti ini, BI harus mendorong perbankan lebih keras berekspansi ke sektor usaha mikro dan kecil, yang telah terbukti tahan menghadapi gejolak.

Kepala Ekonom Bank Mandiri Mirza Adityaswara menyarankan agar mempercepat pengeluaran pemerintah dan penurunan suku bunga untuk usaha yang prospektif.(Banjarmasinpost.co.id)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan Lupa berikan komentar anda!!!

Name :
Web URL :
Message :
:) :( :D :p :(( :)) :x